Kamis, 30 April 2009

Lagu favorite of this week Ungu Hampa Hatiku

Pernahkah kau merasa [2x]
Cukup sudah kuberikan cintaku
Cukup sudah rasa ini untukkmu
Mati sudah hati ini padamu
Mati sudah hasrat ingin bersamamu

Reff:
Pernahkah kau merasa
Hatimu Hampa
Pernahkah kau merasa
Hatimu Kosong

repeat reff

Buang saja semua kata cintamu
Buang saja semua kata maafmu
Hancur sudah hati ini padamu
Hancur sudah hasrat ingin bersamamu

repeat reff [2x]

Rap:
pernahkah, pernahkah kau merasa
dikala siang datang terasa gelap gulita
tiada cahaya hanya gelap hitam dan kelam
tak ada lagi suka tak ada rasa
pernahkah, pernah pernah pernah pernahkah, pernahkah kau merasa
disaat diri terlelap
meski gemuruh kian beradu slalu mengaduh
kau tetap terlelap dalam tidurmu

Dangdut:
Maafkan aku sayangku
Bukan maksudku menyakitimu, mengkhianatimu
Ampuni aku sayangku
Cukup katakan aku tak lagi mencintaimu

Pernahkah kau merasa [3x]

repeat reff [2x]

---------------------------------------------------------------------------------------

Wah..kayaknya baru kali ini deh ungu berkoalisi dengan dangdut (hahaha..mentang2 lagi musim koalisi trus pake kata2 ini). Aku suka banget pas bagiannya Iis Dahlia...Keren abis narinya,,,,

Ayo goyang yukkk...kapan lagi kita melestarikan musik Indo, kalo selama ini kita suka ma musik luar negeri....Aku Cinta Indonesia dah pokoknya...

Senin, 06 April 2009

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus is a Buddhist temple in Riau, Indonesia. Where placed in a complex in Muara Takus village, district XIII Koto, Kampar residence or 135 klometres from pekanbaru, the Capital city of Riau province.

Candi Muara Takus was constructed by the maritime-based Sriwijaya Empire in the eleventh century. The architecture and design of the temples clearly indicates that they are of Mahayana Buddhist origin. It has been suggested by Schnitger that the major temples at Muara Takus may have undergone major renovations in the twelfth century. It is thought that the area was used as both a religious and trade centre by Sriwijaya. The site was abandoned for many centuries before it was re-discovered by Cornet De Groot in 1860. The site was explored and surveyed by W.P Groenveld in 1880 and excavations have been conducted periodically since. The site is now protected as a national monument.

The temple complex of Candi Muara Takus is surrounded by a 1 metre tall stone perimeter wall that measures 74 x 74 metres. The outer wall is penetrated by a gateway on the northern side. Within the walls are the remains of four substantial Buddhist temples (candi). The most unusual of these is Candi Mahligai. This lotus-shaped Buddhist stupa is unique in Indonesia though there are numerous similar ancient structures in Thailand and Myanmar. This structure founded on an octagonal base and reaches a height of 14.30 metres. The uppermost level of the stupa is decorated with lion figures that are barely discernible from below. On the east side of Candi Mahligai is the base of Candi Palangka. It is constructed from red stone and now only reaches a height of 1.45 metres. It was reportedly much taller at the time of the earliest colonial expeditions to the site but the upper terraces have long since collapsed. A third structure within the complex is Candi Bungsu. The most striking thing about this temple is that it was built from two very different kinds of stone. One part is built from red stone and the other section from sandstone. This temple now reaches a height of 6.20 metres. The largest structure at Candi Muara Takus is Candi Tua. Its base measures 32.80 metres x 21.80 metres and it reaches a height of 8.50 metres. This temple is terraced and it bears some resemblance in its design to the much larger stupa, Candi Borobodur, in Java. Like all the temples at Candi Muara Takus, Candi Tua features only minimal decoration. The most notable decorative feature are the seated lion figures on the upper terraces.

Complex Muara Takus is the only one historical inheritence temple in Riau. This Buddhist temple is a proof of Buddhist in Riau. Many archeologist can't decide when did the temple built.

Rabu, 01 April 2009

Tragedi Situ Gintung

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh kejadian jebolnya tanggul Situ Gintung yang menewaskan hampir 100 nyawa dan 100 orang yang masih dinyatakan hilang. Umur tanggul yang sudah 70 tahun memang sudah sangat tua dan perawatan yang kurang diperhatikan menjadi penyebab jebolnya tanggul tersebut. 

Banyak pihak saling menyalahkan atas situasi yang terjadi :
1.  pihak pemerintah...
dari pemerintah Tangerang menyebutkan bahwa masalah tersebut jadi tanggungan pemerintah pusat sedangkan dari pihak Jakarta mengatakan bahwa hal itu tamggunag pemerintah propinsi Banten.

2.  Masyarakat dan pihak terkait
Beberapa warga mengatakan bahwa mereka telah melaporkan tentang tanggul yang agak bocor dan airnya merembes keluar dari 2 tahun yang lalu, tapi tidak ada respon dari pihak2 tersebut. 

Selain itu banyak juga yang memanfaatkan bencana tersebut :

1. Para caleg
Banyak caleg ataupun parpol yang sigap membantu dengan cara membangun posko bantuan yang tentu saja dengan 'embel-embel' memasang foto caleg dan jangan lupa contreng no...

2. Selebritis dan infotainment-nya
Sejak bencana tersebut terjadi banyak infotanment yang membahas dan banyak artis yang berduyun2 kesana untuk memberikan bantuan yang tentu saja diliput oleh para pencari berita tersebut.

3. wisatawan dadakan..
Banyak warga yang datang dari berbagai penjuru Jakarta bahkan sampai ke Jawa Barat yang datang ke lokasi bencana untuk sekedar melihat-lihat situ gitung yang telah habis airnya dan melihat lokasi sekitar yang telah rata oleh tanah atau sekedar melihat fenomena yang terjadi yaitu tetep berdiri dengan kokohnya sebuah mesjid yang posisinya persis di bawah tanggul yang jebol.

Saya sebagai orang awam yang hanya dapat menyaksikan berita dari televisi nasional dan hanya dapat berdoa agar semuaya tabah dan sabar menghadapi cobaan ini. Semoga juga para caleg yang sedang kampanye dan obral janji akan tetap ingat janji mereka kelak saat sudah duduk di DPR untuk membela rakyat, bukannya berusaha mengumpulkan harta untuk mengganti yang telah mereka keluarkan saat kampanye.